Setiap orangtua tentu berharap memiliki buah hati yang “sempurna”.
Namun, kenyataan tidak selalu memenuhi semua harapan. Ketika si kecil
dinyatakan menderita kelainan, seperti cacat, down syndrome atau
autisme, tentu ada perasaan sedih dan marah.
Perasaan marah, tidak bisa menerima, bahkan rasa malu mengakui hal
itu terjadi di keluarga adalah reaksi yang wajar. Menurut Gobin Vashdew,
parenting motivator, reaksi-reaksi tersebut timbul karena kita tidak
siap menerima kenyataan yang ada.
“Perasaan down terjadi karena mereka tidak siap. Hal ini bisa
menimbulkan stres dan pada kondisi ini tidak mudah untuk melepaskan diri
dari stres,” papar penulis buku Happiness Inside ini.
Lebih lanjut, orangtua sering kali merasa tertekan, putus asa, dan
kehilangan harapan, terutama saat orangtua membayangkan masa depan sang
anak. Kadangkala, perasaan stres ini dapat juga menimbulkan rasa
bersalah, terutama di pihak ibu.
Pada tahap depresi ini, orangtua cenderung murung, menarik diri dari
lingkungan sosial terdekat, dan kehilangan gairah hidup. “Kebanyakan
orang kalau mempunyai emosi tertentu akan dilontarkan atau dipendam
sendiri. Padahal, yang benar adalah dilepaskan,” ujar Gobin.
Proses melepaskan diri dari stres atau stres relief memang tak
semudah membalikkan telapak tangan. “Kita bisa melakukannya dengan
mencoba mengambil hikmah dari setiap kejadian. Setiap orang dilahirkan
dengan perannya masing-masing. Mungkin dengan kejadian ini saya
diberikan peran sebagai perawat untuk anak saya,” katanya.
Setiap kejadian di dunia ini bersifat netral. Apakah ingin menjadi
negatif atau positif, sangat bergantung pada cara kita melihat dan
memberikan makna. “Alangkah baiknya kalau kita selalu melihat dari sisi
lain,” katanya.
Sebuah kejadian bisa menjadi pintu untuk suatu hal yang luar biasa.
Misalnya saja Oprah Winfrey yang mampu bangkit dari trauma pelecehan
seksual yang dialaminya. Contoh lain adalah Gayatri Pamoedji, ibu dari
remaja penyandang autis yang saat ini dikenal sebagai konselor keluarga
dan pembicara di berbagai seminar mengenai anak autis.
Semakin cepat kita berhenti meratapi nasib dan mampu menemukan makna,
semakin cepat pula anak mendapat perhatian dan kasih sayang yang
dibutuhkan untuk memaksimalkan tumbuh kembangnya.
“Sedih tidak boleh lama-lama. Ingatlah, anak kita memerlukan tindakan
segera. Makin dini anak mendapat terapi dan pendidikan, makin baik
tumbuh kembangnya sehingga kelak akan menjadi mandiri tak kalah seperti
anak yang normal,” tutur Gayatri dalam sebuah kesempatan.