قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلََهِ النَّاسِ مِنْ
شَرِّ الوَسْوَاسِ الخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُوْرِ النَّاسِ
مِنَ الجِنَّةِ وَالنَّاسِ
“Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (Rob/yang memelihara)
manusia, Raja manusia, Sembahan (Ilaah) manusia. Dari kejahatan
(bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan)
ke dalam manusia, dari golongan jin dan manusia.”
Surat ini beserta surat Al Falaq merupakan sebab sembuhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dari sihir seorang penyihir Yahudi bernama Labid bin A’shom. Dalam
sihir tersebut Rasulullah dikhayalkan seakan-akan melakukan suatu hal
yang beliau tidak melakukannya.
Kisah tersebut disebutkan dalam hadits yang
shohih, sehingga kita harus mempercayainya. Jika syaitan membisiki Anda
dengan mengatakan bahwa seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bisa terkena sihir berarti ada kemungkinan bahwa bisa saja syaitan
mewahyukan kepada Rasulullah sebagian dari Al Quran? Maka bantahlah
bahwa Allah Maha Kuasa terhadap seluruh makhluknya, jika Allah telah
berjanji memelihara kemurnian Al Quran (QS. Al-Hijr: 9) maka tidak ada
yang dapat mengubahnya.
Jika setan tersebut kembali membisikkan agar kita menolak hadits
tersebut dan menanamkan keraguan di hati kita tentang validitas hadits
shohih sebagai sumber hukum islam dengan alasan bahwa kisah itu tidak
masuk akal karena Allah subhanahu wa ta’ala selalu melindungi rasul-Nya.
Maka katakanlah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mungkin
memelihara lafal Al Quran tanpa memelihara penjelasannya berupa
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan
dalam hadits. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan dilahirkannya di
tengah umat ini para imam ahli hadits yang hafalannya sangat
mengagumkan. Di antaranya adalah imam Ahmad yang menghafal hingga 1 juta
hadits beserta sanadnya.
Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan terjadinya hal tersebut sebagai
ujian bagi manusia, apakah mereka beriman ataukah kafir. Sebagaimana
Allah subhanahu wa ta’ala meng-isra dan mi’raj-kan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam satu malam, ada sebagian kaum muslimin ketika itu yang murtad.
Sedangkan pengaruh perlindungan setelah membaca kedua surat tersebut
akan lebih kuat jika disertai dengan pemahaman dan perenungan akan
maknanya.
Memohon Perlindungan Melalui Perantara Nama-Nya
Dalam surat ini terkandung permohonan perlindungan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dengan bertawasul (menggunakan perantara) dengan
tiga nam-Nya yang mencakup tiga makna keyakinan tauhid kepada Allah
secara sempurna. Yaitu tauhid rububiyah, asma wa sifat dan uluhiyah.
Ketiga jenis tauhid ini diwakili oleh asma-asma Allah subhanahu wa
ta’ala sebagi berikut:
Ar-Rabb, Al-Malik dan Al-Ilaah
Ar-Rabb dalam kata ِرَبِّ النَّاسِ (Tuhan Manusia) bermakna
bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah pencipta, pengatur dan pemberi
rezeki seluruh umat manusia. Tentunya Allah subhanahu wa ta’ala bukan
hanya Rabb atau Tuhannya manusia, namun juga seluruh Alam semesta ini
beserta isinya. Pengkhususan penyebutan Rabb manusia di sini adalah
untuk menyesuaikan dengan pembicaraan. Menauhidkan Allah pada hal
tersebutlah yang dimaksud dengan tauhid rububiyah. Seseorang yang
memiliki keyakinan bahwa wali-wali tertentu dapat mengabulkan permohonan
berupa harta, jodoh atau anak maka dia telah menyekutukan Allah dalam
rububiyah-Nya.
Al-Malik adalah salah satu dari asmaul husna yang bermakna pemilik kerajaan yang sempurna dan kekuasaan yang mutlak. Sedangkan penyebutan kata Ilahinnaas
(sembahan manusia) di sini adalah untuk menegaskan Allah adalah yang
seharusnya disembah oleh manusia dengan berbagai macam peribadatan.
Sedangkan ibadah itu ada dua jenis yaitu zhohir dan batin. Yang
zhohir misalnya adalah sholat, do’a, zakat, puasa, haji, nazar,
menyembelih qurban dan lain sebaginya. Sedangkan yang batin letaknya di
dalam hati, seperti khusyu’, roja’ (pengharapan terhadap terpenuhinya
kebutuhan), khouf (takut yang disertai pengagungan), cinta dan lain
sebagainya. Barang siapa yang meniatkan salah satu dari ibadah-badah
tersebut kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik. Siapa yang
sujud kepada kuburan Nabi dan para wali atau yang lainnya, maka dia
telah berbuat kesyirikan, siapa yang tawakalnya kepada jimat maka dia
telah syirik.
Bisikan Syaitan Pada Hati Manusia
Pada surat Al-Falaq permohonan perlindungan hanya bertawasul menggunakan nama Allah Ar-Rabb
saja. Sedangkan pada surat An-Naas ini digunakan 3 nama sekaligus yang
mewakili 3 jenis tauhid. Hal ini mengindikasikan bahwa ancaman pada
surat An Naas lebih besar dari pada ancaman yang disebutkan pada surat
Al-Falaq. Ancaman yang disebutkan dalam surat Al-Falaq hanya
mencelakakan manusia di dunia dan bersifat lahiriah, sehingga dapat atau
mudah dideteksi.
Sedangkan pada surat An-Naas ini ancamannya dapat mencelakakan
manusia baik di dunia maupun di akhirat. Ancaman yang sangat halus,
bukan merupakan kata-kata yang dapat didengar, sehingga sulit untuk di
deteksi. Kemudian yang dijadikan sasarannya adalah hati, di mana hati
manusia merupakan raja dari seluruh anggota tubuh. Tentang hal tersebut
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Sesungguhnya dalam tubuh ini ada segumpal daging, jika baik,
maka baiklah seluruh tubuhnya, jika rusak, maka rusaklah seluruh
tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hati sebagai raja adalah yang memerintah seluruh anggota tubuh. Jika
hatinya cenderung kepada ketaatan, maka anggota tubuhnya akan
melaksanakan kebaikan tersebut. Dan begitu pula sebaliknya. Syaitan
menjadikan hati sebagai target utama karena hati adalah ‘tiket’
keselamatan seorang hamba di akhirat, di mana Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُوْنَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,
kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih/selamat
(saliim).” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)
Orang yang selamat di akhirat adalah orang datang menjumpai Allah dengan hati yang bersih (Qolbun Saliim).
Bersih dan selamat dari penyakit syubhat dan syahwat. Syubhat adalah
bisikan-bisikan syaitan terhadap seorang hamba sehingga dia meyakini
kebenaran sebagai kebatilan, yang sunah sebagai bid’ah dan sebaliknya.
Sedangkan syahwat adalah bisikan syaitan untuk mengikuti segala yang
diinginkan oleh jiwa, meskipun harus menentang aturan Allah subhanahu wa
ta’ala. Jika seorang hamba selalu memperturutkan syahwatnya dan
melanggar aturan Allah, maka lama-kelamaan hatinya akan menganggap
kemaksiatannya itu adalah suatu hal yang biasa, sehingga
menjerumuskannya kepada penghalalan suatu yang diharamkan Allah.
Jika hati diumpamakan sebagai sebuah benteng, maka syaitan adalah
musuh yang hendak masuk dan menguasai benteng tersebut. Setiap benteng
memiliki pintu-pintu yang jika tidak dijaga maka syaitan akan dapat
memasukinya dengan leluasa. Pintu-pintu itu adalah sifat-sifat manusia
yang banyak sekali bilangannya. Di antaranya seperti; cinta dunia,
syahwat dan lain sebagainya. Jika dalam hati masih bersemayam
sifat-sifat tersebut, maka syaitan akan mudah berlalu lalang dan
memasukan bisikannya, sehingga mencegahnya dari mengingat Allah dan
mengisi hati dengan takwa.
Syaitan Jin dan Manusia
Di kalangan masyarakat ada yang menganggap bahwa syaitan, jin dan
iblis adalah jenis makhluk tersendiri. Maka ayat terakhir dari surat ini
membantah anggapan yang salah tersebut. Sesungguhnya makhluk yang
mendapatkan beban syariat ada dua; yaitu jin dan manusia. Iblis
merupakan bangsa jin berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang
maknanya:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوْا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الجِنِّ
“Dan ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu
kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari
golongan jin…” (QS. Al-Kahfi: 50)
Sedangkan syaitan adalah sejahat-jahat makhluk dari kalangan jin dan manusia yang mengasung sebagian kepada yang lain ke neraka.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيِّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ الإِنْسِ
وَالجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ القَوْلِ غُرُورًا
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu syaitan-syaitan manusia dan jin, sebahagian mereka membisikkan
kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk
menipu…” (QS. Al-An’am: 112)
Wallahu a’lam.