stack
[Close]

Kamis, 01 Maret 2012

Menghilangkan Sifat Penakut

Rasa takut (الْخَوْفُ) adalah naluri fitri pada manusia. Rasa itu selalu ada pada manusia normal sebagai bagian yang tak terpisahkan. Rasa takut juga wajar, bisa dibenarkan dan bahkan diperlukan jika ditempatkan pada kondisi yang tepat.

Rasa takut secara umum ada dua macam; rasa takut yang benar dan rasa takut yang salah. Rasa takut yang benar muncul ketika manusia memberikan penilaian terhadap hakikat sesuatu secara tepat, sementara rasa takut yang tidak benar muncul ketika dia tidak memberikan  penilaian yang tepat terhadap hakikat sesuatu.

Penilaian yang tidak tepat ini bisa macam-macam sebabnya, di antaranya ilusi dan bayangan (seperti rasa takut terhadap hantu, tahayul, khurafat dll), salah menyimpulkan fakta (seperti melihat anjing hitam dikira pasti menggigit), salah informasi (misalnya diajari bahwa kecoak adalah hewan yang membahayakan nyawa), dll.

Rasa takut yang benar tidak perlu dihilangkan, malah harus dipertahankan karena rasa itu akan menjaga manusia. Rasa takut kepada Allah, siksa-Nya di neraka, takut memasukkan tangan ke mulut ular kobra berbisa dan semisalnya tidak boleh dihilangkan. Rasa takut semacam ini jika dihilangkan malah akan membahayakan manusia secara permanen, baik dalam kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti.

Adapun rasa takut yang tidak benar, maka rasa takut jenis ini tidak boleh dipelihara. Rasa takut ini hanya akan memandulkan potensi, melemahkan semangat, memundurkan cara pikir, dan tidak produktif. Rasa takut yang tidak benar harus dibuang jika manusia ingin memperolah kejayaan di dunia maupun di akhirat.

Rasa takut yang paling tidak bermutu dan juga paling berbahaya adalah rasa takut yang muncul akibat ilusi dan bayangan-bayangan yang tidak ada realitasnya. Ketakutan pada Kutilanak, Wewe Gombel, Endhas Glundung, Usus Klewer, Pocong, Vampir, Sundel Bolong, dan berbagai istilah hantu lainnya adalah rasa takut akibat ilusi-ilusi yang diciptakan manusia sendiri tanpa pernah bisa dibuktikan realitasnya. Demikian pula rasa takut pernikahan akan gagal jika Weton tidak cocok, takut perniagaan tidak berhasil jika pergi menuju naga dina,takut membeli barang tertentu dihari Selasa karena khawatir barang cepat rusak, takut tertimpa musibah ketika kejatuhan cicak, takut menyembelih bebek karena khawatir istrinya yang hamil nanti akan melahirkan anak berkaki lebar seperti bebek dan berbagai khurafat yang lain adalah konsep-konsep yang diciptakan oleh ilusi dan bayangan manusia tanpa pernah bisa dijelaskan hukum sebab akibatnya secara ilmiah.

Biasanya yang tertimpa rasa takut jenis ini adalah orang-orang yang lemah akalnya (seperti orang-orang idiot), atau belum sempurna pertumbuhan akalnya (seperti anak-anak), atau orang yang tidak memiliki pengetahuan yang benar/minim memperolehnya. Golongan yang ketiga adalah golongan yang paling banyak. Golongan ini diisi –umumnya- oleh orang yang tidak berpendidikan, masyarakat primitif, dan wanita. Namun, kadang-kadang orang yang  berpendidikan, masyarakat beradab dan laki-lakipunpun terjangkiti pula, yakni ketika mereka lebih memilih mengedepankan perasaan yang bersifat naluriah, bukan analisis yang realistis dan faktual.

Mengobati rasa takut yang rendah semacam ini bisa dilakukan dengan dua cara; pertama; membongkar hakikat sesuatu yang ditakuti, kedua; penanaman ide yang benar dengan  realitas yang terindra.

Contoh pembongkaran hakikat sesuatu: ketakutan terhadap naga dina. Dalam mitologi Jawa, naga dina diyakini sebagai naga yang mengangakan mulutnya pada arah mata angin. Posisinya berpindah-pindah tergantung hari. Jika seseorang bepergian bertepatan dengan arah lokasi naga dina mengangakan mulutnya, maka dia akan celaka. Konsep ini dibongkar hakikatnya dengan menjelaskan bahwa naga dina itu hanya khayalan orang-orang kuno saja, tidak ada realitasnya. Hari ini bumi bisa dijelajahi sekehendak manusia, tapi adanya klaim naga dina diseluruh penjuru bumi tidak dapat dibuktikan.

Contoh penanaman ide yang benar dengan realitas yang terindra; ketakutan bahwa pernikahan akan gagal/celaka jika weton tidak cocok. Dijelaskan, bahwa Islam tidak pernah menentukan syariat weton. Semua Syariat yang bertentangan dengan Islam adalah Bid’ah. Rasulullah SAW menikah dengan Khadijah, dan hidup bahagia tanpa menghitung-hitung weton. Bill Gates kaya menikahnya juga tidak pakai weton. Semua itu menjadi bukti empirik bahwa weton tidak ada kaitannya dengan kegagalan dan keberhasilan pernikahan.

Hal yang dipaparkan diatas adalah penjelasan menghilangkan ketakutan dengan analisis fakta. Adapun secara imani, seorang Muslim disamping mengusahakan penghilangan ketakutan yang tidak berdasar itu dengan cara yang rasional, dia juga bisa memaksimalkan amalnya dengan memperbanyak doa agar dihilangkan sifat kepengecutan. Doa yang diamalkan bisa diambil dari hadis-hadis berikut;

صحيح البخاري (9/ 404)
عن عَمْرَو بْنَ مَيْمُونٍ الْأَوْدِيَّ قَالَ كَانَ سَعْدٌ يُعَلِّمُ بَنِيهِ هَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ كَمَا يُعَلِّمُ الْمُعَلِّمُ الْغِلْمَانَ الْكِتَابَةَ وَيَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْهُنَّ دُبُرَ الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ
“Dari ‘Amr bin Maimun Al-Audy dia berkata; Sa’ad mengajari putra-putranya kalimat-kalimat berikut sebagaimana seorang guru mengajari tulisan kepada murid-murid kecilnya, dan juga berkata; Sesungguhnya Rasulullah SAW berlindung dengan kalimat-kalimat tersebut setiap kali selesai Shalat; Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari sifat pengecut” (HR. Bukhari)

صحيح البخاري (9/ 405)
 عن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Dari Anas bin Malik beliau berkata; Nabi SAW bersabda; Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kelemahan dan kemalasan, kepengecutan dan kerentaan, dan aku berlindung kepadamu dari fitnah hidup dan mati, dan aku berlindung kepadamu dari siksa kubur” (HR. Bukhari)